Bapak Nurgiyanto |
Berjuang tidak harus melakukan hal-hal yang spektakuler. Cukup dengan
cara sederhana, tetapi memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Hal itu yang dilakukan Nurgiyanto, 49. Berbekal kemampuannya membuat pupuk organik, sarjana pertanian jebolan Universitas Tunas Pembangunan Solo ini getol berjuang memperbaiki kesejahteraan petani. Caranya ialah menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan, dan mendorong petani untuk beralih ke pupuk organik.
Rasa keterpanggilan pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, ini karena melihat petani tidak bisa menikmati hasil kerja keras mereka. Di matanya, petani ialah pahlawan tanpa tanda jasa. Sayang kesejahteraan mereka selama ini kurang diperhatikan.
"Bisa dibayangkan bagaimana jika seluruh petani mogok tidak mau lagi menanam padi dan kita terpaksa harus selalu mengimpor beras, negara ini pasti akan kerepotan sendiri," ujarnya saat ditemui Media Indonesia di tempat bekerjanya di Desa Jetis, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (26/4).
Pada 2002, Nurgiyanto mulai merintis upaya untuk mewujudkan cita-citanya. Bermodal pengetahuan tentang pertanian dari masa kuliah ditambah pengalamannya membantu temannya pembuat pupuk organik di Klaten, Jawa Tengah, Nurgiyanto yang kala itu masih bekerja sebagai perwakilan sebuah pabrik pupuk kimia mulai membuat pupuk organik.
Bahannya diperoleh dari lingkungan sekitar, ada kotoran sapi, jerami, kapur, dan bekatul. Adapun untuk starting-nya berupa mikroba ia beli dari toko bahan-bahan pertanian.
"Sebelum mengajak masyarakat, tentu saya harus mempunyai pengalaman yang cukup terlebih dulu. Sehingga nanti kalau ditanya saya bisa menjelaskan secara lengkap," jelasnya sambil tersenyum.
Untuk mengetahui kualitas pupuk organik buatannya itu, Nurgiyanto melakukan uji coba di lahan sawah warisan orang tuanya. Pada percobaan pertama, ia mengaku masih menggunakan pupuk kimia. Namun, hanya 75% dan 25% pupuk organik.
Akan tetapi, percobaan pertama itu kurang berhasil. Produksi gabah yang dihasilkan jauh dari harapan. Setelah dievaluasi, ternyata kandungan pupuk organik masih kurang lengkap.
Tidak putus asa, Nurgiyanto kembali mencoba. Kali ini dengan memperbaiki komposisi bahan. Agar lebih yakin, sebelum melakukan uji coba di lahan, ia terlebih dulu mengujinya di laboratorium pertanian. Hasilnya memuaskan, kandungan unsur hara pupuk organik yang ia buat lebih lengkap daripada yang dahulu.
Hasil uji coba laboratorium itu akhirnya dilakukan di lahan tersebut. Sama seperti hasil di laboratorium, kesuksesan terjadi di lahan. Jika sebelumnya satu patok sawah dengan luas 3.000 meter persegi menghasilkan gabah hanya 31 karung, kali ini bisa mencapai 41 karung.
Ternyata selain meningkatkan jumlah produksi gabah, penggunaan pupuk organik juga bisa mengembalikan unsur hara tanah. Jika awalnya Nurgiyanto masih menggunakan 75% pupuk kimia, kemudian dikurangi sampai 50%, lalu berkurang lagi menjadi 25%. Sekarang ini bahkan dia sudah tidak menggunakan pupuk kimia sama sekali.
"Jumlah produksi juga semakin meningkat, sekarang dari satu patok itu bisa menghasilkan 51 karung gabah. Padahal, jika 100% menggunakan pupuk kimia hanya 40 karung gabah," ujarnya meyakinkan.
Kurangi ongkos produksi
Nurgiyanto mempunyai alasan yang kuat mengajak petani menggunakan pupuk organik. Salah satunya untuk mengurangi ongkos produksi. Pasalnya, berdasarkan hasil evaluasi, penyebab utama petani kurang menikmati hasil panen mereka karena tingginya ongkos produksi.
Berdasarkan pengalamannya, untuk lahan seluas 3.000 meter persegi ongkos produksi yang dibutuhkan sekitar Rp3 juta. Sebagian besar untuk biaya pemupukan dan obat-obatan antihama. Padahal, secara berkala harga pupuk kimia terus mengalami kenaikan, begitu pula obat antihama.
Jika tanaman padi itu tumbuh bagus dengan produksi maksimal, harga jualnya hanya Rp4 juta. Dengan kata lain, untuk satu kali masa panen petani hanya bisa mengantongi untung Rp1 juta.
"Itu selama tiga bulan. Tenaga petani yang ke sawah setiap hari itu sama sekali tidak dihargai," jelasnya.
Dengan pupuk organik, ongkos produksi bisa ditekan hingga 30%. Itu dengan asumsi petani menggunakan 50% pupuk kimia. Kalau kesuburan tanah sudah kembali, petani tidak perlu menggunakan pupuk kimia. Dengan begitu, penghematan yang diperoleh akan jauh lebih besar. Dengan kata lain, keuntungan yang bisa dinikmati petani akan semakin meningkat.
Di samping itu, pupuk organik juga bisa menekan perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman. Di lahan sawah miliknya yang kini sudah 100% menggunakan pupuk organik, Nurgiyanto mengaku tidak pernah lagi menggunakan obat antihama.
"Cukup satu kali pemupukan sebelum tanam, setelah itu tinggal memelihara dan menunggu panen. Gabah yang dihasilkan juga lebih berisi dan bagus kualitasnya," jelas dia.
Penggunaan pupuk kimia terus-menerus, lanjut Nurgiyanto, akan merusak kesuburan tanah. Belum lagi dampak negatif ke lingkungan dan kesehatan. Karena pupuk kimia yang ditebar petani hanya 30% yang mampu diserap tanaman, sisanya menguap ke udara, hanyut pada saat pengairan, dan menggumpal di tanah.
Jika diimbangi dengan pupuk organik, jumlah residu itu bisa ditekan. Karena mikroba yang terkandung di dalam pupuk organik memiliki kemampuan untuk mengikat unsur-unsur yang dikandung pupuk kimia sehingga bisa diserap secara maksimal oleh akar tanaman.
Sebar semangat
Karena yakin bahwa penggunaan pupuk organik bisa membantu meningkatkan kesejahteraan petani, Nurgiyanto pun gencar menebarkannya. Mulai dari petani di sekitar sawahnya hingga ke petani di wilayah lain di Kabupaten Karanganyar.
Saat ini, Nurgiyanto memiliki empat kelompok petani sayuran organik binaan di Kecamatan Tawangmangu. Termasuk juga 17 kelompok petani padi yang ia bina bersama Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Karanganyar yang tersebar di 17 kecamatan di Karanganyar.
Kepada kelompok tani binaannya itu, Nurgiyanto tidak sekadar memberikan wawasan mengenai keuntungan menggunakan pupuk organik. Ia juga mengajarkan mereka keterampilan bagaimana membuat pupuk organik mandiri.
"Bahan-bahannya mereka yang menyediakan, cuma starternya yang dari saya. Mikroba itu saya buat sendiri memanfaatkan ramen sapi. Membuatnya sangat sederhana, cukup ramen sapi, diberi air dan tetes tebu," jelasnya.
Kerja sosial, begitulah sebutan apa yang dilakukan Nurgiyanto itu. Karena ia sama sekali tidak pernah mengharapkan upah. Malah terkadang dia harus rela merogoh kocek pribadi untuk membantu petani yang masih kesulitan untuk membuat atau menggunakan pupuk organik.
"Saya punya dua tenaga yang siap membantu petani untuk menyebar pupuk organik, kalau mereka masih kesulitan. Karena penyebaran harus dilakukan secara cepat sebelum ditanami. Itu yang bayar saya," ujarnya tanpa bermaksud pamer.
Tujuannya cuma satu, supaya petani mau menggunakan pupuk organik dan sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. Walaupun hal itu diakuinya tidak mudah karena harus mengubah pola pikir yang telah melekat dan kebiasaan yang telah berlangsung puluhan tahun. (M-5)
Biodata
Nama: Nurgiyanto
Tempat/tanggal lahir: Karanganyar, 6 November 1963
Alamat: Kaling, RT 01/01, Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah
Pendidika : S-1 Pertanian Universitas Tunas Pembangunan Solo
Orang tua
Ayah: Wiryo Kartiyoso (almarhum)
Ibu: Samiyem
Istri: Atik Setyaningsih
Anak: Terry Ariesa Pandanwangi, Yohanna Inke Florentina
Hal itu yang dilakukan Nurgiyanto, 49. Berbekal kemampuannya membuat pupuk organik, sarjana pertanian jebolan Universitas Tunas Pembangunan Solo ini getol berjuang memperbaiki kesejahteraan petani. Caranya ialah menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan, dan mendorong petani untuk beralih ke pupuk organik.
Rasa keterpanggilan pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, ini karena melihat petani tidak bisa menikmati hasil kerja keras mereka. Di matanya, petani ialah pahlawan tanpa tanda jasa. Sayang kesejahteraan mereka selama ini kurang diperhatikan.
"Bisa dibayangkan bagaimana jika seluruh petani mogok tidak mau lagi menanam padi dan kita terpaksa harus selalu mengimpor beras, negara ini pasti akan kerepotan sendiri," ujarnya saat ditemui Media Indonesia di tempat bekerjanya di Desa Jetis, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (26/4).
Pada 2002, Nurgiyanto mulai merintis upaya untuk mewujudkan cita-citanya. Bermodal pengetahuan tentang pertanian dari masa kuliah ditambah pengalamannya membantu temannya pembuat pupuk organik di Klaten, Jawa Tengah, Nurgiyanto yang kala itu masih bekerja sebagai perwakilan sebuah pabrik pupuk kimia mulai membuat pupuk organik.
Bahannya diperoleh dari lingkungan sekitar, ada kotoran sapi, jerami, kapur, dan bekatul. Adapun untuk starting-nya berupa mikroba ia beli dari toko bahan-bahan pertanian.
"Sebelum mengajak masyarakat, tentu saya harus mempunyai pengalaman yang cukup terlebih dulu. Sehingga nanti kalau ditanya saya bisa menjelaskan secara lengkap," jelasnya sambil tersenyum.
Untuk mengetahui kualitas pupuk organik buatannya itu, Nurgiyanto melakukan uji coba di lahan sawah warisan orang tuanya. Pada percobaan pertama, ia mengaku masih menggunakan pupuk kimia. Namun, hanya 75% dan 25% pupuk organik.
Akan tetapi, percobaan pertama itu kurang berhasil. Produksi gabah yang dihasilkan jauh dari harapan. Setelah dievaluasi, ternyata kandungan pupuk organik masih kurang lengkap.
Tidak putus asa, Nurgiyanto kembali mencoba. Kali ini dengan memperbaiki komposisi bahan. Agar lebih yakin, sebelum melakukan uji coba di lahan, ia terlebih dulu mengujinya di laboratorium pertanian. Hasilnya memuaskan, kandungan unsur hara pupuk organik yang ia buat lebih lengkap daripada yang dahulu.
Hasil uji coba laboratorium itu akhirnya dilakukan di lahan tersebut. Sama seperti hasil di laboratorium, kesuksesan terjadi di lahan. Jika sebelumnya satu patok sawah dengan luas 3.000 meter persegi menghasilkan gabah hanya 31 karung, kali ini bisa mencapai 41 karung.
Ternyata selain meningkatkan jumlah produksi gabah, penggunaan pupuk organik juga bisa mengembalikan unsur hara tanah. Jika awalnya Nurgiyanto masih menggunakan 75% pupuk kimia, kemudian dikurangi sampai 50%, lalu berkurang lagi menjadi 25%. Sekarang ini bahkan dia sudah tidak menggunakan pupuk kimia sama sekali.
"Jumlah produksi juga semakin meningkat, sekarang dari satu patok itu bisa menghasilkan 51 karung gabah. Padahal, jika 100% menggunakan pupuk kimia hanya 40 karung gabah," ujarnya meyakinkan.
Kurangi ongkos produksi
Nurgiyanto mempunyai alasan yang kuat mengajak petani menggunakan pupuk organik. Salah satunya untuk mengurangi ongkos produksi. Pasalnya, berdasarkan hasil evaluasi, penyebab utama petani kurang menikmati hasil panen mereka karena tingginya ongkos produksi.
Berdasarkan pengalamannya, untuk lahan seluas 3.000 meter persegi ongkos produksi yang dibutuhkan sekitar Rp3 juta. Sebagian besar untuk biaya pemupukan dan obat-obatan antihama. Padahal, secara berkala harga pupuk kimia terus mengalami kenaikan, begitu pula obat antihama.
Jika tanaman padi itu tumbuh bagus dengan produksi maksimal, harga jualnya hanya Rp4 juta. Dengan kata lain, untuk satu kali masa panen petani hanya bisa mengantongi untung Rp1 juta.
"Itu selama tiga bulan. Tenaga petani yang ke sawah setiap hari itu sama sekali tidak dihargai," jelasnya.
Dengan pupuk organik, ongkos produksi bisa ditekan hingga 30%. Itu dengan asumsi petani menggunakan 50% pupuk kimia. Kalau kesuburan tanah sudah kembali, petani tidak perlu menggunakan pupuk kimia. Dengan begitu, penghematan yang diperoleh akan jauh lebih besar. Dengan kata lain, keuntungan yang bisa dinikmati petani akan semakin meningkat.
Di samping itu, pupuk organik juga bisa menekan perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman. Di lahan sawah miliknya yang kini sudah 100% menggunakan pupuk organik, Nurgiyanto mengaku tidak pernah lagi menggunakan obat antihama.
"Cukup satu kali pemupukan sebelum tanam, setelah itu tinggal memelihara dan menunggu panen. Gabah yang dihasilkan juga lebih berisi dan bagus kualitasnya," jelas dia.
Penggunaan pupuk kimia terus-menerus, lanjut Nurgiyanto, akan merusak kesuburan tanah. Belum lagi dampak negatif ke lingkungan dan kesehatan. Karena pupuk kimia yang ditebar petani hanya 30% yang mampu diserap tanaman, sisanya menguap ke udara, hanyut pada saat pengairan, dan menggumpal di tanah.
Jika diimbangi dengan pupuk organik, jumlah residu itu bisa ditekan. Karena mikroba yang terkandung di dalam pupuk organik memiliki kemampuan untuk mengikat unsur-unsur yang dikandung pupuk kimia sehingga bisa diserap secara maksimal oleh akar tanaman.
Sebar semangat
Karena yakin bahwa penggunaan pupuk organik bisa membantu meningkatkan kesejahteraan petani, Nurgiyanto pun gencar menebarkannya. Mulai dari petani di sekitar sawahnya hingga ke petani di wilayah lain di Kabupaten Karanganyar.
Saat ini, Nurgiyanto memiliki empat kelompok petani sayuran organik binaan di Kecamatan Tawangmangu. Termasuk juga 17 kelompok petani padi yang ia bina bersama Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Karanganyar yang tersebar di 17 kecamatan di Karanganyar.
Kepada kelompok tani binaannya itu, Nurgiyanto tidak sekadar memberikan wawasan mengenai keuntungan menggunakan pupuk organik. Ia juga mengajarkan mereka keterampilan bagaimana membuat pupuk organik mandiri.
"Bahan-bahannya mereka yang menyediakan, cuma starternya yang dari saya. Mikroba itu saya buat sendiri memanfaatkan ramen sapi. Membuatnya sangat sederhana, cukup ramen sapi, diberi air dan tetes tebu," jelasnya.
Kerja sosial, begitulah sebutan apa yang dilakukan Nurgiyanto itu. Karena ia sama sekali tidak pernah mengharapkan upah. Malah terkadang dia harus rela merogoh kocek pribadi untuk membantu petani yang masih kesulitan untuk membuat atau menggunakan pupuk organik.
"Saya punya dua tenaga yang siap membantu petani untuk menyebar pupuk organik, kalau mereka masih kesulitan. Karena penyebaran harus dilakukan secara cepat sebelum ditanami. Itu yang bayar saya," ujarnya tanpa bermaksud pamer.
Tujuannya cuma satu, supaya petani mau menggunakan pupuk organik dan sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. Walaupun hal itu diakuinya tidak mudah karena harus mengubah pola pikir yang telah melekat dan kebiasaan yang telah berlangsung puluhan tahun. (M-5)
Biodata
Nama: Nurgiyanto
Tempat/tanggal lahir: Karanganyar, 6 November 1963
Alamat: Kaling, RT 01/01, Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah
Pendidika : S-1 Pertanian Universitas Tunas Pembangunan Solo
Orang tua
Ayah: Wiryo Kartiyoso (almarhum)
Ibu: Samiyem
Istri: Atik Setyaningsih
Anak: Terry Ariesa Pandanwangi, Yohanna Inke Florentina