Berita Terkini

Jan 25, 2012

Sarjana Bali Ndeso, Mbangun Deso

Lelaki itu melangkahkan kakinya di areal sawah berlumpur lalu naik ke atas berjalan di pematang. Setelah sampai di pinggir jalan, kaki dan tangannya yang berlepotan lumpur dicelupkan dalam aliran irigasi di samping areal persawahan. Tak terkecuali cangkulnya.

Begitulah kebanyakan hari yang dijalani Saein, 42, warga Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah. Penampilannya yang sederhana itu sering membuat orang menilai dia hanyalah pemuda desa biasa. Padahal, Saein bukanlah pemuda desa biasa, karena dia memiliki segudang talenta di bidang pertanian.

Pendidikan Saein juga cukup mumpuni. Dia alumnus salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) terbaik di Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB). Malah sewaktu kuliah, prestasinya di atas rata-rata mahasiswa umumnya, hingga mendapatkan beasiswa Supersemar. Namun Saein jika ditanya merasa lebih nyaman jika disebut pemuda desa saja.

Saat lulus kuliah, indeks prestasi kumulatif (IPK) Saein juga tergolong baik, mencapai 3,01 atau sangat memuaskan pada jurusan hama dan penyakit tumbuhan dengan waktu tempuh studi 5 tahun.

Tidak mengherankan jika begitu lulus dari IPB pada 1995, Saein langsung bisa menjadi peneliti di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat. Kemudian pada 1996, ia membantu lembaganya IPB saat melakukan riset pengendalian hama terpadu di Pengalengan, Jawa Barat, dan di Brebes, Jawa Tengah. Sekitar tiga tahun hingga 1999 pria berperawakan kurus ini menjadi peneliti.

"Bidang penelitian memang mengasyikkan. Tetapi sejak awal, saya ingin jadi petani saja di desa. Maka, setelah bekerja selama empat tahun seusai lulus, saya memutuskan pulang ke desa. Keputusan itu sebenarnya membuat saya agak takut. Sempat muncul pertanyaan, "Kenapa sudah jadi sarjana malah pulang ke desa dan menjadi petani? Kok tidak meneruskan kerja di kota. Tapi ketakutan itu sirna, setelah orangtua mengerti alasan saya pulang kampung," kata Saein menjelaskan sikapnya.

Tertantang

Saein merasa tertantang menjadi petani di desa, karena dia melihat sejatinya potensi di desa sangat luar biasa. Dia menyayangkan, jarang ada orang yang mau memajukan desa meski sudah dibekali ilmu.

Rata-rata, kini sarjana lebih memilih bekerja di kota, karena barangkali lebih nyaman dan tidak usah bersusah payah atau berlepotan lumpur di sawah dan tersengat sinar matahari untuk mendapatkan materi.

"Bagi saya, karena sejak kecil telah bercita-cita jadi petani, begitu sampai di rumah saya mulai turun ke lumpur dan bertani, sekalian mengaplikasikan ilmu pertanian yang saya peroleh dari kampus," katanya.

Untuk mengembangkan pertanian di desanya, Bukateja, yang pertama kali ia lakukan adalah membuat formulasi pupuk ramah lingkungan. Bahan-bahan yang digunakan sudah disediakan oleh alam.

Ia menggunakan mikroba lokal untuk pupuk dan agensia hayati. "Awal pembuatan, tentunya saya belum berani langsung mengajak petani lain. Biarlah saya sendiri yang meneliti dan mempraktikkannya. Kalau nanti telah berhasil, baru saya tularkan," ujar Saein saat menceritakan kiprah pertamanya menjadi seorang petani.

Riset pertanian pun ia lakukan. Hasil riset Saein antara lain adalah bahan alami yang berfungsi sebagai imunisasi bagi tanaman padi. Bahan alami itu akan mampu menciptakan antibiotik sistemik bagi tanaman, sehingga tanaman lebih kebal dan tahan terhadap serangan penyakit.

"Bahannya sederhana, hanya dari akar serabut bambu yang direndam sebagai media pertumbuhan bakteri. Ditambah dengan bahan lain seperti bekatul, gula, terasi, penyedap rasa serta air kelapa atau sari buah nanas. Dari bahan itulah, akan menghasilkan semacam cairan yang berfungsi untuk kekebalan bagi tanaman padi," jelasnya.

Riset tersebut seluruhnya menggunakan biaya dari kantongnya sendiri. Setelah dinilainya cukup berhasil bagi tanaman padi miliknya seluas 0,7 hektare (ha), baru kemudian Saein mendiskusikan dan menularkannya kepada petani lainnya.

Untuk lebih memudahkan komunikasi, Saein membuat kelompok tani Gemah Ripah. Kelompok tani ini akhirnya sepakat untuk mulai menanam padi dengan pola pertanian organik.

Lepas ketergantungan

Prinsip bertani Saein memang lebih mengandalkan berkah alamiah. Bertani yang benar, katanya, seharusnya memanfaatkan sumber daya lokal termasuk untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi padi (saprodi) secara mandiri dan tidak tergantung pada bahan-bahan hasil pabrikan.

"Nyatanya, dengan menggunakan bahan-bahan alami, agensia hayati atau musuh alami dari hama tanaman padi bisa muncul sendiri. Jadi secara alamiah, rantai makanan dalam ekosistem pertanian yang ramah lingkungan berjalan secara baik.

"Biayanya juga cukup murah. Karena, untuk lahan seluas 0,7 ha, misalnya, hanya dibutuhkan dana pembuatan pupuk organik sekitar Rp300 ribu," jelas Saein. Biaya ini jauh lebih murah daripada menggunakan pupuk produksi pabrik yang bisa mencapai dua kali lipatnya.

Tidak berhenti hanya sampai di situ, Saein juga melakukan riset untuk mengoptimalkan agensia hayati dengan menumbuhkan predator bagi hama tanaman padi. Misalnya saja, untuk mengatasi hama wereng, dibutuhkan laba-laba pemburu.

"Laba-laba pemburu itu sangat efektif sebagi predator. Nah, caranya adalah membuat media untuk habitat bagi laba-laba tersebut. Dan ternyata, predator wereng itu sangat suka hidup pada bahan organik proses pelapukan bahan alami," ujarnya.

Saein mengakui banyak hal yang masih ingin dijadikan bahan riset, terutama untuk terus meningkatkan hasil produksi padi. Salah satunya tentu adalah bagaimana caranya pengendalian hama dan penyakit pada tanaman padi.

Saein memang seorang peneliti lapangan. Tidak perlu laboratorium canggih yang membutuhkan dana besar. Karena baginya alam adalah laboratorium yang amat luar biasa. Dan yang pasti, ia telah menunjukkan bahwa sarjana tidak harus berkutat di kota. Karena sejatinya potensi desa sangat luar biasa. Dan itu telah ditunjukkan Saein. Bali ndeso, mbangun deso atau pulang ke desa, membangun desa.

Sumber : Media Indonesia